Sunday, July 12, 2015



Satu hari sebelumnya

Siang hari pada bulan terakhir musim gugur yang sejuk.

Gedung SMA berbalut arsitektur barat modern berdiri dengan kokohnya, dan nampak sebuah taman di dekatnya dengan barisan pohon maple dan kumpulan bunga tulip berwarna-warni yang tersusun rapi di setiap barisnya.

Di dekat sebuah air mancur yang di tengahnya terdapat sebuah hub yang berfungsi sebagai fasilitas informasi publik, Zed melangkahkan kakinya di atas jalan setapak yang dihiasi batu marmer yang berkilau.

“Yuko!” Ia memanggil dari kejauhan sembari melihat di sekeliling taman yang sepi tersebut.

Ia kembali mengulangi panggilannya, namun sosok yang ia cari tak kunjung ditemukan.

“Yuko! Keluarlah!” teriakannya itu kembali terdengar lebih keras.

Sementara itu ia yang terlihat lelah kemudian duduk di sebuah bangku taman yang tak jauh darinya. Lalu ia mengeluarkan sebuah ponsel dari saku bajunya dan menatap jam digital yang menunjukkan pukul 14:00.

“Huf... berapa lama lagi?” Ia hanya menghela nafasnya kemudian menengok di sekitarnya.

Sembari menghirup udara taman yang segar, dengan suasana musim gugur yang sunyi seakan membuatnya ingin tidur saat itu pun juga.

Taman tersebut jarang dikunjungi oleh para siswa ketika jam sekolah telah usai, meskipun terkadang ada beberapa yang mengunjunginya sekedar hanya untuk menenangkan diri maupun bersantai sambil merasakan suasana yang sangat alami.

Zed duduk di bangku tersebut dengan santainya, pikirannya yang terbawa ke dalam suasana pada saat itu terbang entah ke mana, sesekali ia menutup matanya karena mengantuk. Tak lama kemudian datanglah Yuko yang melangkah dengan pelan menghampirinya dari arah belakang.

“Hey!...”

Yuko berteriak dengan suaranya yang cukup nyaring seketika itu pun juga membuyarkan suasana nyaman Zed yang setengah tertidur. Zed yang terkejut kemudian melihat sosok di belakangnya tersebut.

Sosok berwajah oriental, rambut cokelat panjang sebahu dengan sebuah hiasan berbentuk kristal hijau kecil pada rambutnya, dan mengenakan seragam sekolah untuk siswi. Zed pada akhirnya menyadari sosok tersebut.

“Y... Yuko!”

Yuko terlihat sebagai sosok gadis oriental, akan tetapi banyak orang yang salah mengira bahwa ia terlahir dari timur. Yuko lahir di kota tersebut. Ayahnya adalah seorang pribumi yang menetap sedangkan Ibunya berasal dari timur, itulah yang membuat Yuko nampak sebagai seorang gadis oriental. Namun ia nampak sangat manis melebihi gadis pribumi, walaupun ia terkesan lebih pendek dari yang lainnya.

“Kini aku yang menemukanmu...” Yuko terlihat sangat ceria.
“Heh... bukankah aku yang berjaga?”

Gadis yang sangat periang, bahkan hal yang hampir tidak pernah ditampakkan olehnya adalah kesedihan. Akan tetapi, terkadang Yuko tak bisa membendung kesabarannya jika menghadapi seseorang yang menyebalkan, Yuko pun seketika akan menjadi seorang gadis yang menakutkan.

Sementara itu Yuko yang kemudian berjalan dengan gaya angkuhnya, dan duduk di samping kekasihnya itu memperlihatkan sebuah ekspresi wajah yang meremehkan.

“Kau kalah... sekali kalah tetap kalah...”
“Ini sangat konyol...” Zed hanya mengeluh.

Kemudian Yuko memperlihatkan wajahnya yang murung.

"Jadi, kau tidak menyukainya?" Ia mengatakannya seakan itu adalah hal yang menyedihkan.
"Ah... tidak, maksudku."

Yuko memalingkan wajahnya, ia pun kemudian tertunduk.

"Begitu ya..."
"T...tidak, bukan begitu Yuko. Hanya saja, tidak bisakah kita melakukan hal yang lain?"

Dan seketika Yuko kembali dengan wajah ceria nya, juga senyum manisnya.

"Bagaimana dengan Purple Crystal?"

Sebuah restoran bintang lima bergaya klasik yang ada di kota, Purple Crystal. Restoran ini biasanya hanya dikunjungi oleh orang-orang kaya saja. Restoran ini terkenal dengan harga makanan yang mahal, yang termurah pun hanyalah segelas air putih.

"Kau yakin? Tapi, itu sangat mahal bukan?"
"Kau tidak tahu siapa aku?"

Yuko berasal dari keluarga yang kaya raya, yang biasa disebut Keluarga Steinberg. Ayahnya Ronan Steinberg adalah seorang CEO di perusahaan Terrabit, perusahaannya tersebut adalah raksasa teknologi yang bergerak pada bidang gaya hidup dan layanan telekomunikasi serta internet.

"Ya... ya, aku tahu nona Steinberg..."
"Aku ingin sekali makan malam di situ, bersamamu.” Ia mengatakannya dengan nada yang manja.
“Baiklah, lain kali kita pergi ke sana...”
“Kau berjanji?” Yuko mengeluarkan jari kelingkingnya.
“Tidak, itu hanya rencana...”
“Heeh....” Wajahnya kembali murung.
“Baiklah... nanti akan kubuatkan sesuatu yang enak.” Zed berusaha menghiburnya.
“Sungguh...?” wajahnya seketika terlihat senang.
“Ya...”

Bahkan gadis ini tidak sadar dengan dirinya sebagai orang yang serba berkecukupan, ia bertingkah seolah-olah dari kalangan menengah ke bawah.

Hal itu terlihat mulai dari penampilan dan sikapnya, entah apakah itu yang disebut dengan orang kaya yang hidup sederhana? Mulai dari sepatu yang sudah cukup usang, ponsel yang ketinggalan jaman, Yuko juga tidak memakai riasan berkelas layaknya artis. Ia juga tidak menyukai perkembangan mode layaknya gadis lain di sekolahnya, bahkan ia juga dijauhi oleh teman-temannya yang juga berasal dari kalangan atas.

“Ah... Yuko, bagaimana kabar Ayahmu?”
“Eh... dia baik-baik saja. Dia juga terlihat sangat sibuk akhir-akhir ini, itu membuatnya jarang memperhatikanku.”
“Yuko, kau ini sudah hampir dewasa bukan? Kau harus mencoba hidup mandiri...” Zed menegaskannya.
“Apakah itu menyakitkan?”
“Heh? Itu tergantung dari bagaimana kita menjalaninya.”
“Bagaimana dengan hidup bersama orang yang kau cintai?”

Yuko mengatakan hal yang cukup tabu untuk dibicarakan oleh anak SMA. Namun hal itu tidak berlaku bagi mereka berdua.

Yuko adalah seorang gadis manis, tak sedikit siswa laki-laki merasa iri terhadap Zed.

“Ah yuko... sudah kukatakan bukan? Kita ini masih bersekolah, dan lagi pula aku belum mampu.”
“Tentu saja kau mampu.”

Keluarga mereka telah membicarakan soal rencana pernikahan, hal itu sebenarnya didasari secara khusus oleh kepentingan perusahaan yang menunjuk Zed sebagai pengganti Ronan Steinberg pada tahun yang akan datang.

Yang membuat Zed pantas untuk itu adalah karena ia seorang yang cerdas dan memiliki kemampuan pada beberapa bidang teknologi. Hal itu dibuktikan olehnya pada prestasinya yang sangat baik, salah satunya adalah memenangkan nobel ketika ia menciptakan sebuah perangkat lunak AI revolusioner yang digunakan pada Komputer Kuantum Terrabit.

"Kau kan calon CEO Terrabit?" lanjut Yuko.
"Ah... itu kan masih calon?" hanya menghela nafasnya.
"Dan itu bisa diperkuat, kalau kita berdua umm... Lagi pula orang tua kita sudah saling menyetujuinya bukan?” Kembali memperlihatkan senyumannya yang manis, tersembunyi dari diri Yuko sebuah keinginan yang sangat kuat akan hal tersebut.
“Umm... sebenarnya itu mungkin masalah pribadiku...” nada bicara yang terdengar serius.
“Ehm... Masalah pribadi? Maksudmu, kau tidak berani untuk itu? Kuatlah nak... kau harus berani.” Dengan suara yang berat, Yuko berbicara seolah-olah seperti seorang yang berpengalaman.

“Heeh? Kenapa tiba-tiba kau jadi seperti ibuku?”
“Ber... can... da...”

Meskipun pada awalnya itu terdengar seperti sebuah pembicaraan yang serius, namun pada ada akhirnya Yuko tetap memperlihatkan sikapnya yang konyol, dan seperti itulah Yuko yang dikenal oleh Zed.

“Ah... Yuko, sebenarnya aku merasa bahwa itu semua terlalu terburu-buru.”
“Terburu-buru, maksudmu?” tanyanya dengan heran.
“Kau tahu, sebenarnya masih ada yang perlu kita lakukan setelah lulus sekolah.” Tegasnya.
“Hmm... seperti?”
“Seperti... kuliah, ya... itu cukup menyenangkan.”
“Tapi, aku tidak tahu ingin masuk jurusan apa.”
“Kau yakin...? bagaimana dengan keterampilanmu selama ini?”
“Yah... kau tahu, aku hanya seorang gadis yang tidak bisa apa-apa. Beda denganmu yang bahkan sudah bisa dipastikan menjadi seorang yang sukses nantinya.” Jelas Yuko.

“Mana mungkin, Yuko!”
“Apa yang kau maksud?”
“Tentu saja, kau ini sebenarnya ingin menjadi seorang desainer muda bukan?”
“Heeh... itu hanya sebatas hobi bagiku.”
“Yah... sebenarnya desain mu selama ini cukup menarik.”
“Kau hanya terlalu melebih-lebihkannya...” Yuko hanya tersenyum sembari menundukkan wajahnya.
“Tidak, sungguh... itu cukup menarik.” Zed mencoba untuk meyakinkannya.
“Kesannya terdengar hanya seperti menghiburku...”
“Yah, baiklah... mungkin kau perlu meningkatkan keterampilanmu sedikit lagi.”
“Sedikit?” tanyanya heran.
“Ada beberapa hal kecil yang kurang, mungkin.”

Pada akhirnya mereka telah berbicara cukup lama, namun hal itu tidak disadari mereka berdua. Suasana yang nyaman dan sunyi di taman tersebut membuat mereka hampir saja lupa dengan waktu.

“Bagaimana dengan les desain mu?”

Yuko mengeluarkan ponselnya lalu menatap beberapa baris pada jadwal harian.

“Ya... itu sebentar lagi.”
“Kalau begitu kau harus bergegas, kau tidak ingin dimarahi lagi oleh gurumu bukan?” Zed mengatakannya dengan nada yang tegas.

“Tentu... lalu, apa yang akan kau lakukan setelah ini?” tanyanya penasaran.
“Mmm... entah, mungkin aku akan pulang?” Zed hanya mengangkat kedua bahunya.

“Tidakkah kau ingin menungguku?” kembali dengan nada yang manja.
“Tidak... aku tidak ingin...”
“Kau ini, menyebalkan!” tatapannya pada Zed itu memperlihatkan wajahnya yang mengejek.

Mereka mengakhirinya dengan perpisahan yang biasa mereka lakukan, Yuko beranjak pergi ke kelas sementara Zed bergegas pulang.

Pada saat waktu yang semakin mendekati sore hari, suhu udara menjadi lebih dingin. Akan terlihat beberapa orang memakai mantel yang cukup tebal ketika itu.

Bahkan ketika malam akan menjadi sangat dingin sampai cukup membentuk lapisan es tipis pada genangan air di udara terbuka. Ketika malam juga akan terlihat fenomena aurora yang sebenarnya hanya biasa nampak di belah bumi utara. Kebanyakan mengatakan bahwa ini adalah fenomena pra-musim salju.

Zed melangkahkan kakinya di atas trotoar jalan yang kasar, berjalan pelan menuju sebuah stasiun kereta bawah tanah. Sementara itu kemudian ia merogoh sakunya mengeluarkan sebuah kartu pas untuk pembayaran.

Melangkah menyusuri tangga, ia merasakan suasana sejuk musim gugur yang kini berubah menjadi pengap.

Ia pun kembali melanjutkan langkahnya mendekati pemberhentian kereta. Sembari menunggu, ia mengeluarkan ponselnya dan memeriksa kotak masuk emailnya, lalu membuka sebuah entri yang baru saja ia terima.

"Cryo?"

Dan itu adalah nama sebuah lab penelitian swasta yang tidak asing lagi baginya, tempat tersebut terletak tepat di pusat kota.

"Mereka... wah." Ia terlihat takjub dengan apa dilihat olehnya.

Itu adalah sebuah undangan khusus yang dikirimkan pada Zed untuk mengunjungi CryoLab secara eksklusif. Undangan tersebut sangat jarang dikirimkan kecuali pada orang-orang tertentu saja.

▪▪▪▪▪

CryoLab atau disebut juga dengan Cryo adalah sebuah laboratorium riset swasta yang didanai sepenuhnya oleh Terrabit Corp, mereka melakukan sebuah penelitian sekaligus pengembangan teknologi gaya hidup kriogenika.

Masih dalam satu kompleks dengan Cryo, terdapat juga sebuah gedung bernama TetraLab yang merupakan fasilitas perawatan dan penyimpanan klaster Komputer Kuantum Terrabit.

▪▪▪▪▪

Sementara itu, Zed bergegas memasuki kereta yang telah tiba, bersamaan dengan banyak orang yang didominasi oleh anak sekolah.

Kereta tersebut kemudian berjalan dengan halusnya, melesat dengan kencang namun tidak terdengar sedikit pun suara mesin yang bising. Di dalamnya tak nampak jendela-jendela yang transparan melainkan layar yang menampilkan iklan komersil.

Zed merasakan dinginnya suhu dalam kereta tersebut bersamaan dengan suasana bawah tanah yang pengap, tampilan langit cerah virtual pada langit-langit tidak cukup mengubah suasana itu.

Waktu telah berlalu 50 menit sejak ia meninggalkan sekolah. Dan ia harus menunggu 20 menit untuk sampai di stasiun tujuannya.

▪▪▪▪▪

Ketika ia telah sampai di stasiun tujuannya, ia tak lekas melanjutkan menggunakan taksi maupun yang lainnya. Ia hanya melewati jalan setapak di sisi sungai kecil dan taman kota yang berjarak tempuh 500 meter untuk sampai ke apartemennya. Hal tersebut rutin dilakukannya ketika pergi dan pulang dari sekolah.

Di sela-sela perjalanannya itu, ia berhenti pada sebuah minimarket untuk beristirahat sejenak dan membeli minuman dingin.

“Seperti biasa, hmm... frapuccino ya?” gadis petugas kasir yang murah senyum itu terlihat sangat akrab dengannya.
“Ya... kau tahu bukan?” dan Zed hanya membalas senyumannya.
“Mengetahui bahwa ini adalah kesukaanmu? Oh... tidak, siapa tahu kau juga suka dengan capuccino.” Gadis itu mengeluarkan guyonannya setiap kali ia bertemu dengan Zed.
“Siapa yang tahu?” Zed menatap gadis itu dengan tatapannya yang memikat.
“Ehm...”

Jika Yuko melihat hal ini, mungkin saja ia pasti akan cemburu. Akan tetapi Zed hanya melakukannya karena keakrabannya, tidak ada niat untuk hal yang lain.

Lagi pula, Terrabit membuatnya menjadi seorang selebritis dadakan, jadi pantaslah ia dikenal baik oleh orang banyak.

“Kembaliannya, terima kasih.”
“Juga...”
“Sampai jumpa kembali....” Dan itu adalah sebuah sapaan ramah disertai senyuman dari seorang gadis.

Tentu saja Zed tidak akan mudah terpikat hanya karena seorang gadis kasir yang melakukan tugasnya dengan baik.

Lagi pula Ia bukanlah seorang lelaki yang lemah, yang mudah terpikat oleh senyuman seorang gadis bahkan Yuko sekalipun. Yang membuatnya terpikat adalah, bagaimana seorang gadis itu menghargai hidupnya sendiri dan orang lain.

Zed adalah seorang yang cermat memilih. Tapi terkadang lebih baik ia menerima kenyataan daripada membuangnya.

▪▪▪▪▪

Sebelum melanjutkan langkahnya, Zed duduk sejenak di atas bangku yang tersedia, kemudian ia meneguk habis minuman kalengnya itu, dan Ia merasa sangat berenergi setelah itu.

Kemudian melempar kaleng itu ke dalam tong sampah di dekatnya.

Zed kembali melanjutkan perjalanannya.

▪▪▪▪▪

Tak lama kemudian sampailah ia di taman kota, di tempat tersebutlah ia bersama Yuko biasanya menghabiskan waktu untuk bersama.

Tapi akhir-akhir ini ia terkadang terlalu sibuk dengan urusannya sehingga melewatkan waktu bersama itu, namun Yuko tidak pernah sedikit pun memperlihatkan wajah yang kecewa. Mungkin saja Yuko memendam kekecewaannya itu, namun Zed tak menyadarinya.

▪▪▪▪▪

Berjalan melewati taman tersebut, sampailah ia di gedung tinggi menjulang dengan arsitektur hijau modern, gedung yang merupakan klaster apartemen tempat tinggal Zed. Terkadang ia juga tinggal bersama Yuko saat liburan sekolah.

▪▪▪▪▪

Ia berjalan memasuki lobi, seketika itu ia merasakan suasana yang sejuk dan segar, juga aroma harum, itu semua berkat teknologi ventilasi dan filter udara yang mutakhir.

“Hey Alto, hari yang melelahkan ya?” Ia tersenyum pada Zed.

Itu adalah sapaan dari sosok yang ramah, badannya yang gemuk dan agak tinggi, berambut pendek dan berkulit cokelat, kumisnya tebal dan ia senantiasa mengenakan smartglass miliknya. Tak lain dan tak bukan adalah Paman Raavi, seorang perjaka tua dari timur yang hidup sendirian.

“Nampaknya...” Zed membalas senyumannya.
“Aku membuat kari ayam hari ini, kau mau? Tapi... itu agak pedas.”

Paman Raavi adalah seorang yang baik, ia juga sangat suka bergaul dengan tetangga. Ia seorang yang handal dalam memasak masakan timur, walaupun kebanyakan dari masakannya pedas tapi tetap saja terasa lezat. Ia sering kali berbagi dengan yang lain, dan Paman Raavi hanya tersenyum tanpa mengharap balasan apapun.

Ia benar-benar seorang yang murah senyum.

“Ah ya, terima kasih Paman... tapi aku masih kenyang saat ini.” Zed hanya menolaknya dengan lembut, ia sedang tak ingin memakan masakan pedas saat itu.

Paman Raavi berasal dari timur, keadaan di timur saat itu sangat tidak memungkinkan untuknya mencari pekerjaan, keadaan ekonomi di sana sedang terpuruk dan banyak perusahaan yang gulung tikar. Ia pun pindah untuk mencari harapan hidup baru, juga untuk memperbaiki taraf hidupnya. Namun yang menyedihkan darinya adalah ia terpaksa harus terpisah dari keluarga yang membesarkannya.

Kini Paman Raavi bekerja sebagai teknisi pada salah satu perusahaan pengelolaan data.

“Tak apa... kemarilah, duduk sebentar.”
“Baiklah...”
“Lalu, ke mana dewi mu itu?” Ia bertanya sambil mengelus-elus kumis tebalnya itu.
“Ah... kurasa sebentar lagi ia ke sini, setelah menyelesaikan lesnya.”
“Ah iya... nampaknya benar-benar menyenangkan ya?”
“Eh... maksudmu?”
“Maksudku, menjadi seorang yang ditawari jabatan yang luar biasa... apalagi disertai seorang calon pasangan yang sangat cantik.”

“He he he, aku sendiri pun bahkan tak yakin...”
“Hmm... ada apa? Kau memiliki masalah?”
“Eh... tidak, aku hanya belum siap dengan keadaan seperti ini.”
“Ya, aku mengerti... aku memang belum pernah menikah, tapi kurasa aku mengerti bagaimana rasanya.”
“Eh... bukan itu... maksudku, aku hanya belum siap menghadapi sikap Yuko.”
“Ada apa dengan dia?” tanya Paman penuh penasaran.

“Entahlah, tekadnya sangat kuat untuk... kau tahu. Tapi sayangnya aku tidak pernah bisa menjanjikan hal tersebut padanya, bukannya aku tidak siap.”
“Lalu...?”
“Ah... aku hanya tidak ingin.”
“Aku mengerti... kau tidak menyukai Yuko?”
“Entahlah...” Zed terlihat bingung ingin mengatakannya dengan ungkapan yang tepat.

Paman Raavi melihatnya sebagai satu hal yang ia sembunyikan, namun ia tidak ingin terlalu ikut campur dengan masalahnya.

▪▪▪▪▪

Zed hanya mengakhiri perbincangan mereka.

“Ah... Aku pergi dulu Paman.” Mengakhiri perbincangan singkat itu, Zed kembali melanjutkan langkahnya.
“Yah... eh, silahkan.”

Ia kemudian berjalan masuk ke dalam lift apartemen, dan segera menekan tombol lantai 32.

Baginya, menetap pada ketinggian tersebut merupakan hal yang cukup istimewa karena bisa melihat pemandangan kota yang cukup indah.

Namun ia memiliki masalah dengan suhu ruangan yang menurun drastis ketika malam tiba. Dikatakan bahwa itu adalah sebuah gejala pergerakan udara dingin kota di ketinggian. Maka untuk mengatasinya, pengelola gedung memasang penghangat di setiap ruangan apartemen.

▪▪▪▪▪

Ia telah berjalan kaki sejauh ini dan akhirnya sampai di apartemen miliknya, sebuah kelas menengah. Dengan satu kamar tidur berukuran besar, dan ruangan standar lainnya.

Semuanya berbalut teknologi mutakhir, akan tetapi itu tidak serta-merta membuat Zed hanya bersantai dan bermalas-malasan karena dilayani secara otomatis. Zed pun harus tetap melakukan berbagai hal rutin secara manual.

Karena teknologi yang membuat malas itu justru berdampak buruk bagi sifat sosial dan kejiwaan manusia di masa mendatang.

“Ding....” Sebuah nada pendek terdengar ketika Zed memasuki apartemen tersebut, itu adalah tanda selamat datang baginya, juga sistem rumah cerdas lainnya.

“Ah... Sweep?”

Dengan proyeksi holografi, sebuah objek AR di hadapannya muncul berbentuk sebuah kubus dengan wajah ceria nya. Ia adalah Sweep, sebuah asisten pintar, sebagian besar kecerdasan buatannya diciptakan oleh Zed sendiri.

Sweep memiliki kecerdasan yang unik, bisa dikatakan bahwa ia menyimpan apa yang ia lihat melalui kamera pada setiap ruangan yang berfungsi sebagai matanya tersebut. Ia memiliki beberapa fungsi emosional buatan, juga kesadaran terbatas yang diprogram sedemikian rupa agar ia terlihat hidup.

Zed selalu memimpikan dapat membuat sebuah AI yang benar-benar hidup. Sebuah AI yang benar-benar dapat mempelajari, menganalisa dan memberi argumen pada segala hal apapun itu.

“Yep! Apa yang bisa kulakukan?”
“Tolong, 35 derajat, dan kirim pesan pada Yuko bahwa aku telah sampai di rumah.”

“Room heater, 35 derajat. Pesan pada Yuko telah dikirim.” Terdengarlah nada suara yang datar darinya, nampaknya Zed juga perlu meningkatkan kualitas bahasa komunikasinya.

“Terima kasih.” Zed menampakkan senyumnya.
“Sama-sama!” dan sweep membalas senyuman dari Zed.

Terkadang, ketika Zed pulang lalu memperlihatkan ekspresi wajahnya yang tak menyenangkan maka Sweep akan membalasnya dengan sebuah ejekan yang terdengar konyol.

▪▪▪▪▪

Setelah semua aktivitas yang melelahkan itu, Zed bergegas melepaskan pakaiannya lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan badannya. Selesai dengan mandi kemudian berpakaian, ia lalu menyiapkan makan malamnya.

Malam ini, ia akan makan bersama Yuko. Dan juga, satu hal yang bisa membuat Yuko lupa dengan restoran bintang lima adalah sebuah masakan oriental kesukaannya.

“Apakah masih ada beras di sini?”
“Yep! Itu cukup untuk 4 hari lagi.” Kembali terdengar jawaban dari Sweep.
“Ah... di mana Yuko sekarang?”
“Tunggu, aku akan melacaknya...”

Sweep lalu membuka sebuah jendela transparan dengan tampilan layaknya peta navigasi.

“Sekitar 35 menit, Yuko akan sampai di sini.” Ia menunjukkan sebuah titik yang bergerak lamban pada peta tersebut.
“Ah, aku masih bisa membuatnya, aku harus cepat...”

Zed bergegas menanak nasi, kemudian ia mengambil beberapa bahan makanan dari lemari es. Terlihat sepiring fillet ikan salmon segar, lalu beberapa sayuran, dan yang terakhir rumput laut kering.

Semuanya ia olah dengan tangan terampilnya.

▪▪▪▪▪

Nasi telah matang dengan cepatnya, kemudian Zed mengambil sepiring nasi itu, lalu mengeluarkan sebuah lembaran. Dengan menggunakan lembaran tersebut, ia menggulung nasi dengan bahan-bahan tadi sebagai isiannya.

“Dan sedikit kecap... atau saus, ah... apalah namanya....” Ia menuangkan sedikit ke atas hidangan itu.
“Selesai... yah, kurasa.”

Kemudian ia segera menyajikannya di atas meja makan.

▪▪▪▪▪

“Huff, berapa menit?”
“Kau berhasil membuatnya dalam 20 menit, selamat!” Sweep kembali tersenyum.

Setelah itu Zed segera menyiapkan hal tambahan seperti minuman.

Teh hijau dari timur, salah satu kesukaan Yuko.

Negeri timur memiliki salah satu budaya yang cukup unik, mereka benar-benar memperhatikan secara khusus bagaimana cara meminum teh, mereka memiliki tata cara membuat teh yang nampak seperti sebuah upacara yang sederhana, mereka pun menyajikannya dengan metode yang khusus ketika menyambut tamu.

Kini, ada beberapa kafe tradisional di kota yang menggunakan tata cara penyajian teh hijau seperti itu. Kafe tersebut salah satunya dikelola oleh Keiko Natsukawa, Ibunda Yuko sendiri.



Beberapa menit berlalu, setelah Zed telah membuat dua gelas teh hijau yang hangat. Nampaknya seseorang menekan tombol bel pintu, Zed yakin itu adalah seorang yang ia tunggu.

“Zed? Kau ada di dalam?” Yuko nampaknya telah datang, dan ia berdiri dibalik pintu.
“Ah... masuklah.” Zed telah menunggunya di meja makan.

Suasana apartemen seorang lelaki, beberapa sudut terlihat kacau tidak teratur. Dan Yuko berjalan masuk kemudian menyimpan tas miliknya di atas sofa.

“Hmm... kau membuat apa?”
“Ahh... entahlah, aku lupa namanya... eh, nasi gulung?”

Yuko segera duduk bersama Zed, dan ia melihat sepiring sajian yang tak asing baginya.

“Eh... ini, apa ya... aku juga lupa.” Akhir-akhir ini Yuko lebih sering menyantap makanan barat.

Tak perlu berlama-lama memikirkan nama makanan tersebut, mereka memilih langsung menyantapnya.

“Yah... uh, mari makan?”
“Hehe... kenapa kau begitu kaku?” Yuko tertawa kecil.
“Oh... aku? Benarkah?”

Dan Yuko hanya tersenyum melihat tingkah kekasihnya tersebut.

“Kau tak perlu malu dengan calon istri mu.”
“Uhuk... uhuk....” Nampaknya Zed mendapati ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya.
“Eh... kau kenapa? Minumlah.”

Zed menggapai segelas air putih itu dan melupakan teh buatannya.

Setelah itu, ia kembali merasa lega dan melanjutkan makannya.

“Tidak baik melahapnya sekaligus. Sepotong demi sepotong maka kau akan menikmatinya Zed...”
“Ah... iya, lalu bagaimana dengan masakan calon su... ah... bagaimana?” Zed merasakan perkataannya terganjal oleh suatu hal.

Namun Yuko hanya memperlihatkan ekspresi wajahnya yang merasa senang.

“Kau tahu? ini sangat enak, sungguh....” Nada bicaranya tak seperti biasa, tak ada keceriaan.
“Ada apa, Yuko?”
“Tak apa, aku tak apa... sungguh....” Yuko hanya mengelak.

Yuko berbicara dengan nada yang datar, senyumnya terlihat kaku, tapi meskipun demikian ia tetap terlihat menikmati makanannya.

Akan tetapi, pada akhirnya Zed menyadari bahwa Yuko nampaknya ingin mengatakan suatu hal yang masih terganjal dalam benaknya.

“Katakanlah, apa mungkin aku memasukkan terlalu banyak garam?”
“Ah... tidak kok, ini sudah enak menurutku.”
“Kalau begitu, baiklah....”

▪▪▪▪▪

“Oh ya, bagaimana dengan les mu tadi?”
“Ya, menyenangkan. Teman-temanku bilang desain ku semakin bagus, hanya saja mereka juga mengatakan beberapa hal kecil yang kurang.” Jelas Yuko.

“Sudah ku katakan bukan?”
“Ya... kau benar.”
“Jadi, kau sudah menyimpulkan?”
“Tentang apa?”
“Mengenai, jurusan yang akan kau ambil saat kuliah?”

“Entahlah, aku sendiri pun bingung. Aku masih teringat ada satu hal, nampaknya aku tak perlu kuliah lagi.” Yuko mengatakan dengan penuh kesungguhan.
“Mengapa?” tanya Zed yang penuh rasa penasaran.
“Yah, hidupku sudah terjamin bukan? Bersamamu... ya.”
“Bersamaku?” Zed hanya tersenyum kecil.

Entah mengapa, tapi Zed merasakan bahwa suasana kala itu menjadi aneh. Yuko yang terlihat periang, kini ia menjadi sosok yang datar.

“Besok libur dan Tetra mengundangku untuk datang ke Cryo...”

Dari raut wajahnya, nampaknya Yuko tak merasa senang sedikit pun dengan pembicaraan tersebut.

“Begitu ya....” Dan ia hanya tersenyum kecil.
“Bukannya aku tak mau mengajakmu, tapi undangannya hanya untuk satu orang. Kau tahukan, itu daerah terbatas.” Jelas Zed.
“Hmm... Hmm...” Namun Yuko terlihat merasa tidak tertarik dengan itu.
“Bagaimana, Yuko?”

“Kurasa itu menarik, apa kau perlu izinku juga?” terdengar seperti kebohongan darinya.
“Tidak... eh, maksudku kau tak apa dengan itu?”
“Kau tak perlu khawatir, lagi pula itu kan urusanmu sendiri.”
“Ya, baiklah... tapi kau yakin bukan?”
“Iya, aku benar-benar yakin.” Ia terlihat seperti tidak benar-benar mengatakan yang sebenarnya.

▪▪▪▪▪

Dibawah cahaya lampu redup, suasana menjadi semakin buruk. Yuko terkesan mengabaikan apa yang ia dengar dan Ia seolah-olah menampakkan sifat dinginnya, tentu saja pastinya ada hal yang membuatnya seperti itu.

“Yuko memiliki masalah denganku?” pikir Zed. “Tapi kenapa?” lanjut dalam benaknya.

Yuko tetap melahap makanannya itu, ia mengunyahnya dengan terlihat seakan ia tak menikmatinya sedikit pun.

“Kau ingin mengatakan sesuatu?” Zed menanyakan itu pada Yuko yang kemudian terlihat diam membisu.

▪▪▪▪▪

Suasana menjadi sangat buruk, ketika Yuko tiba-tiba saja berdiri dari tempat duduknya, ia tak menghabiskan makanannya ataupun meminum teh hijau itu.

Ia benar-benar menampakkan hal yang terlihat tak menyenangkan dari wajahnya.

Yuko pergi meninggalkan ruangan itu sementara Zed berusaha menghentikannya.

“Kau mau ke mana?” Zed memegang dengan erat tangan Yuko.

Namun Yuko tetap diam membisu dan Ia benar-benar menampakkan wajah yang murung.

Lalu Zed berusaha mengajak Yuko untuk mengungkapkan apa yang Ia sembunyikan dalam benaknya.

“Yuko, duduklah.”

▪▪▪▪▪

Terlihat dari wajahnya, matanya yang berkaca-kaca, bibirnya yang dingin.

Kemudian Yuko meneteskan air matanya.

“Lihat wajahku, bahkan sampai saat ini, kau tak mengerti juga?” dengan nada suaranya yang terdengar menyedihkan.

“Mengerti...? apa yang kau maksud?”

▪▪▪▪▪

Zed mendapati kekasihnya yang periang itu kini menampakkan kesedihannya yang tak biasa. Dan kesedihan itu, adalah yang pertama kalinya ia lihat.

Yuko melepaskan genggaman tangan itu darinya.

“Apa yang kau lakukan selama ini? Kau sibuk untuk mengurus urusanmu saja...”
“Yuko...”

Semakin menampakkan kesedihannya itu, ia kembali mengatakan hal yang membingungkan.

“Bahkan kau belum mengerti juga?”

Kini hanya Zed yang diam tak kuasa menjawab apapun.

“Apa yang kau lakukan? Hah..?” Yuko menangis, air matanya mengalir membasahi kedua pipinya.

Seakan-akan ia menyembunyikan kesedihannya selama ini dibalik senyuman manisnya.

“Bahkan... kau sampai ingin mengorbankan waktu bersama kita.”

Dan akhirnya Zed membuka mulutnya untuk menjawab semua keluhan itu. Ia benar-benar menyadari akan kesalahannya selama ini, ia sering kali melupakan Yuko karena kesibukannya.

“Tapi, bukankah baru saja kau bilang, dan selama ini kau... mengatakan dirimu baik-baik saja dengan ini semua?”

Selama ini Yuko hanya menyembunyikan perasaan-perasaan itu dalam benaknya. Kekecewaan dan kesedihan itu tak mampu ia tampakkan pada Zed. Yuko hanya selalu ingin bisa menjadi gadis yang menyenangkan dan selalu tersenyum, dan semua itu ia lakukan untuk bisa membuat Zed nyaman di dekatnya.

“Aku hanya ingin kau bisa mengerti.” Yuko mengatakan itu di tengah isak tangsinya.

Yuko yang selama ini dikenal oleh Zed sebagai gadis yang periang, kadang bersikap konyol hanya demi membuat kelucuan, ternyata itu semua bukanlah hal yang menjadi sifat utamanya.

“Juga... sebenarnya kau tidak suka dengan rencana pernikahan kita kan?” Yuko membuat suasana semakin buruk.
“Apa maksudmu?”
“Kau tidak ingin menikah denganku bukan? Kau selama ini juga... tidak mencintaiku....” Seperti sebuah kenyataan yang Ia katakan.

“Kau salah, aku mencintaimu... sungguh.” Zed mencoba memperbaiki suasana itu.
“Tak perlu menghiburku seperti itu.” Namun Yuko melihatnya dari sisi yang berbeda.
“Yuko...”

Sejak awal, dalam benaknya, Yuko tidak menerima kenyataan bahwa rencana pernikahannya dengan Zed hanyalah didasari kepentingan perusahaan belaka, Zed merasa tidak tertarik dengan itu semua. Yuko hanya berusaha semampunya untuk menjadi yang terbaik, menjadi yang pantas untuk berada di sisi Zed.

“Lalu... Yuko, bagaimana dengan senyuman itu, tawa dan canda itu selama ini? Itu bukti bahwa aku mencintaimu kan?”

“Itu hanya terlihat seperti drama, bukankah kau sendiri pun menyadarinya?”

Zed terlihat semakin bingung dengan itu semua.

“Aku mengerti Yuko... maaf.” Ia terlihat menampakkan penyesalannya.

Namun tetap saja, perasaan Yuko tak bisa menerimanya, Yuko telah menampakkan diri yang sebenarnya. Ia sebenarnya tak berbeda dengan gadis yang lain, yang memiliki kesedihan juga rasa kecewa.

“Akhirnya kau mengerti juga? Kau menyebalkan! Dan Kau tahu? Aku benar-benar sangat kecewa, sejak awal!” Yuko mengatakannya dengan penuh kesedihan.

Dan Yuko pergi meninggalkan Zed dalam penyesalannya, sendirian dalam suasana yang dingin itu.

Zed sendiri pun merasakan ada yang salah dengan penyesalannya, ia tak merasa pantas untuk menyesal.

“Untuk apa aku menyesal?” batinnya.

Ia yakin bahwa ia tak perlu menyesal, selama ia masih bisa memperbaikinya.

▪▪▪▪▪

Zed tetap berusaha menghentikan Yuko, ia berlari dan kembali menggenggam tangan Yuko, tangannya terasa dingin sementara itu masih terlihat sisa dari air mata sedih pada wajahnya.

“Besok... aku berjanji, aku tak ada masalah dengan mengabaikan undangan itu.” Ia benar-benar belum menyerah.

Untuk tetap mempertahankan Yuko di sisinya, ia bahkan sampai rela mengorbankan sebuah hal yang penting baginya.

Namun baginya, ada satu hal yang lebih berharga dari hal tersebut.

“Jadi... aku akan senang bisa bersamamu di taman.” Akan tetapi Yuko hanya terdiam mendengar itu, kemudian ia menghapus air matanya.

Yuko adalah seorang yang selama ini selalu bersamanya. Yang selama ini selalu memperhatikannya, yang selalu membuatnya tersenyum, yang selalu membuatnya tertawa. Meskipun pada akhirnya Zed menyadari dibalik itu semua ternyata ada hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

“Sweep, hapus jadwal kunjunganku besok. Dan tolong ingatkan aku untuk pergi ke taman besok.”
“Yep. jadwal mu sudah ku ubah.”
“Jadi bagaimana Yuko? Kau ingin pergi besok?”

Yuko tetap terdiam, ia hanya mengangguk pelan.

“Ah... syukurlah, maaf telah membuatmu seperti ini.”

Tak ada sepatah kata pun darinya, Yuko kemudian melepaskan genggaman tangan Zed darinya, lalu ia pergi begitu saja.

Dan tak ada senyuman, ataupun perasaan senang yang mengakhiri perjumpaan mereka berdua. Semua itu berakhir dengan suasana yang menyedihkan bagi mereka. Entah apa yang akan terjadi besok, apakah itu bisa memperbaiki keadaan, atau malah menjadi lebih buruk.

▪▪▪▪▪

[Lanjut ke bab II (SEGERA)]

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Chatbox Animesoftshare

Top 5 Minggu Ini

Powered by Blogger.

Pengikut

| Copyright © 2013 - Animesoftshare - Animesoftshare Metrominimum | Re-Designed by Helly Fahreza Fathurillah |